Dikutip dari laman detik.com, logo baru Ancol telah resmi dirilis pada Jumat, 22 Juli 2022.
Tampilan logo tersebut terlihat lebih tegas dan minimalis dibandingkan sebelumnya. Lumba-lumba ikonik pun dihilangkan, dan digantikan oleh gambar bintang laut yang berada di dalam huruf “A” dari logo.
Namun demikian, keputusan Ancol untuk mengubah logonya ternyata menuai kritikan tajam dari berbagai pihak.
Disitir dari laman kompas.com, misalnya, cukup banyak netizen yang menyayangkan dihilangkannya gambar lumba-lumba ikonik tersebut. Bagi mereka, tindakan ini malah menghapus aspek ‘fun’ dari Ancol.
Perubahan kombinasi warna, dari semula warna-warni menjadi hanya satu warna (biru tua), juga dianggap berkontribusi terhadap pupusnya kesan ‘fun’ tadi. Terkesan minimalis dan tidak ramai seperti dulu.
Sudah bak startup crypto atau keuangan saja. Bahkan, sangat mirip dengan logo PT, membuat Ancol benar-benar kehilangan marwahnya. Begitu kata mereka.
Ini tentu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Mengingat, dari pihak Ancol sendiri mengaku, bahwa perubahan logo ditunjukkan untuk merepresentasikan diri mereka sebagai simbol kebahagiaan murni, dampak abadi, demokratisasi, inklusivitas, dan aksesibilitas. Atau lebih tepatnya, mereka ingin hubungan dengan para pengunjung bisa semakin kuat.
Pengakuan tersebut secara tidak langsung menggarisbawahi bahwa peristiwa perubahan logo tidak bisa hanya dilihat dari kacamata desain visual semata. Ada tujuan dan target tertentu yang ingin dicapai oleh tim Ancol, dan itu menguntungkan dari segi bisnis.
Sebelum menelaah lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui dulu tentang perjalanan branding dari Ancol selama ini. Selain untuk menambah wawasan, penjelasan ini nantinya bisa memberi gambaran secara konkret bagaimana cara melakukan keputusan mengubah logo berdasarkan kondisi perusahaan saat ini.
Silakan simak penjelasan sebagai berikut.
Ancol, problematika branding, dan stagnasi bisnis
Dari segi entitas

Sering disalahpahami oleh banyak orang, ternyata Ancol tak lain tak bukan adalah suatu perusahaan yang membawahi sejumlah bisnis, dengan nama PT Pembangunan Jaya Ancol.
Disadur dari situs web resmi Ancol, sekurang-kurangnya Ancol menaungi tiga unit bisnis utama. Pertama, unit bisnis rekreasi. Ini mencakup Atlantis Water Adventures, Dunia Fantasi (Dufan), Pantai Ancol, dan lain-lainnya.
Berikutnya ada unit bisnis properti, mencakup apartemen, kondominium, dan resort di kawasan Ancol.
Sementara, unit bisnis terakhir ialah korporat seperti Ciputra Group dan sebagainya.
Jadi, bisa dilihat sendiri bahwa perusahaan Ancol berbeda dengan Pantai Ancol. Argumentasi netizen tentang tampilan logo baru yang ‘seperti PT’ bisa langsung terpatahkan, karena memang tampilannya merepresentasikan Ancol sebagai sebuah perusahaan.
Adakah pengaruhnya? Jelas ada. Bahkan, sangat menguntungkan bagi perusahaan. Namun, akan kita bahas nanti soal ini.
Dari segi branding

Sekarang, mari kita lanjut lagi pembahasan tentang Ancol.
Disebutkan dalam skripsi strata-1 yang bertajuk “Perancangan Brand Rejuvenation Dunia Fantasi Ancol” (2021) oleh Felicia Setiawan, PT Pembangunan Jaya Ancol pernah menyebutkan tentang stagnannya jumlah pengunjung Dufan pada rentang waktu 2014 sampai 2018.
Itu pun sudah diupayakan dengan penambahan wahana dan wilayah baru serta berbagai promosi iklan.
Di lain sisi, berdasarkan pemaparan Jennifer Carolina dalam skripsi strata-1 berjudul “Rejuvenasi Sea World Ancol melalui Perancangan Ulang Brand Identity” (2021), Sea World menempati posisi kurang populer di hasil penelusuran di Google Trends.
Meski tergolong sebagai unit bisnis, tetapi keduanya tetap memiliki pengaruh terhadap bagaimana Ancol mencitrakan dirinya sebagai brand maupun caranya menggambarkan seluruh wajah unit bisnisnya dengan baik.
Apalagi, baik Dufan maupun Sea World, keduanya memiliki pola kekeliruan yang sama dalam mencitrakan diri di hadapan para audiensnya.
Keduanya sama-sama menunjukkan inkonsistensi dalam penyajian dan penyampaian kepada konsumen. Sama-sama terkendala juga dalam konsistensi penggunaan identitas visual. Sehingga, bagi beberapa orang, segala bentuk desain visual keduanya dirasa kurang menarik dan menjemukan.
Permasalahan tersebut pada akhirnya mengerucut pada pertanyaan, “Seperti apa brand guidelines Dufan & Sea World, sampai-sampai berakhir seperti itu?”
Benar saja. Baik Carolina (2021) maupun Setiawan (2021) menjawab kurang lebih tentang belum adanya brand guidelines yang jelas dalam mengatur arah branding ke depannya.
Selain itu, kurang tersampainya nilai-pesan (Dufan) dan belum menjelmanya diri sebagai top of mind (Sea World), menunjukkan kalau pemahaman audiens/pengunjung terhadap kedua brand tersebut dan bahkan Ancol masih sangat lemah (Shen & Lin, 2021).
Berdasarkan artikel ilmiah dengan tajuk “An Exploration of Impact of Logo Redesign on Brand Image” (2014) oleh Navita Mahajan, hal ini bisa saja terjadi lantaran logo dirasa sangat membingungkan dan memperumit citra yang ingin ditampilkan oleh brand.
Dari segi bisnis

Seperti disebutkan sebelumnya, Dufan tidak mengalami peningkatan jumlah pengunjung dari 2014 hingga 2018. Sea World pun demikian; dari tahun ke tahun tidak mengalami pertumbuhan jumlah pengunjung yang signifikan.
Kurang lebih ada dua faktor yang melandasi kenapa Dufan, Sea World, dan bahkan Ancol secara keseluruhan pada akhirnya mengalami krisis finansial. Pertama, mulai sengitnya kompetisi di bisnis wahana dan hiburan.
Kedua, lantaran adanya pandemi Covid-19. Yang bahkan, disitir dari laman Kontan.com, memaksa PT Pembangunan Jaya Ancol untuk memberhentikan operasional sejumlah wahana untuk sementara waktu.
Logo baru Ancol, parameter sukses, dan pelajaran bisnis dari beberapa parameter
Setelah mengetahui latar belakang dari Ancol, ada baiknya kita lanjutkan dengan mencari tahu apa saja parameter dari perubahan logo.
Dengan begitu, kita juga jadi tahu apa saja yang mesti dipersiapkan dan diperhatikan dalam upaya mengubah logo.
Apalagi, kita belajarnya langsung dari kasus Ancol. Sehingga, lebih dapat bayangan bagaimana seharusnya kita saat praktek berlangsung.
Berikut parameter dari perubahan logo menurut Banerjee (2008):
1. Desain

Pemikiran bahwa mengubah logo hanya tentang membuat logo baru adalah cara berpikir yang keliru. Nyatanya, ada beberapa aspek sehingga pada akhirnya logo bisa dikatakan baru, seperti:
- Didorong oleh keinginan perubahan, di mana itu mudah dipahami oleh siapa pun.
- Terkesan modern, tegas, dan berpengaruh, serta memiliki ciri khas yang kuat.
- Dapat menggambarkan perusahaan dengan baik dan bahkan menunjukkan kalau perusahaan siap menyambut dan mewujudkan perubahan positif.
- Ada keseimbangan yang tepat antara kreativitas dan komunikasi logo.
- Apakah desain sudah cukup menarik untuk mewujudkan tujuan nyata dari perubahan logo.
Dari kasus Ancol: Bisa kita lihat dari perbandingan antara desain logo baru dan lama, apakah secara komunikasi visual sudah memenuhi atau belum.

Logo lama memiliki beragam warna, dengan lumba-lumba ikonik sebagai huruf “L”. Logo baru, di satu sisi, hanya terdiri dari dua warna dengan gambar bintang laut di dalam huruf “A”.
Seperti disinggung sebelumnya, pengubahan logo dilandasi dengan alasan yang kuat, yaitu untuk mempertegas lagi bahwa Ancol hadir untuk menciptakan memori kebahagiaan untuk semua orang.
Ini sudah memenuhi salah satu aspek parameter tentang kesiapan perusahaan dalam menjangkau perubahan positif. Juga, menggambarkan perusahaan dengan baik — yang mengantarkan kita pada berbagai wahana di dalamnya, bukan sekadar di salah satunya.
Bisa dilihat juga pada logo baru, bagaimana visual memiliki kesan futuristik, mengikuti tren saat ini (minimalis), dan tegas dalam menggambarkan identitasnya. Akan sangat mungkin bagi kita, saat melihat warna biru laut, untuk langsung teringat dengan nama Ancol.
Sementara, pada logo lama, visual belum modern dan tegas; terkesan seolah-olah menggambarkan Ancol sebagai satu macam wahana saja, yaitu Pantai Ancol. Padalah, seperti kita tahu, Ancol merupakan perusahaan dengan berbagai unit bisnis di bawah naungannya.
Meskipun logo sudah memiliki ciri khas yang kuat, belum tentu warna dari logo bisa selaras dengan konten-konten di media sosial (medsos), marketing campaign, dan elemen/produk visual brand lainnya. Mengingat, warna pada logo melebihi jumlah ideal, yaitu 2-3.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa logo baru Ancol sudah memenuhi parameter perubahan logo.
2. Reaksi audiens

Pengubahan logo juga perlu memerhatikan reaksi audiens, karena tidak semuanya akan menyukai logo baru, apalagi jika logo lama sudah tertanam kuat dalam ingatan. Selain itu, perubahan dapat mengganggu kenyamanan audiens.
Itulah kenapa perusahaan harus mengadakan riset dan penelitian untuk memperkirakan akan seperti apa reaksi konsumen nantinya.
Dari kasus Ancol: Meski jumlah penelitian seputar Ancol masih sedikit, tetapi setidaknya dua penelitian yang sudah disinggung sebelumnya bisa kita tarik kesimpulan.
Adalah logo lama memang sudah dikenal dengan baik, tetapi konsistensi visual dengan produk visualnya masih mengundang pertanyaan. Bahkan, responden sampai mengaku bahwa visual terkesan menjemukan dan tidak meningkatkan interest mereka untuk berkunjung ke Dufan maupun Sea World.
Memang sekilas relevansinya terlihat jauh. Namun, kita pada akhirnya tahu bahwa ada permintaan yang tinggi terhadap perubahan logo dan produk visual lainnya.
Mungkin saja, sebagian netizen kurang menanggapi dengan baik lantaran belum melihat pengaruhnya sampai pada produk visual dari Ancol ke depannya. Bagaimana pada gilirannya mereka akan tertarik bahkan jatuh cinta pada Ancol.
Buktinya, beberapa respons positif datang dari mereka yang punya pengalaman di bidang desain grafis, marketing, dan branding. Pendapat mereka, setidaknya, bisa dianggap telah mewakili respons pelanggan terhadap tingginya permintaan tadi.
Dihilangkannya gambar ikonik lumba-lumba juga membuktikan bahwa Ancol telah melakukan riset sebaik mungkin. Mengingat, audiens saat ini, terutama dari Gen Z, memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap isu sosial seperti disabilitas dan kehewanan.
Sebelumnya, kita tahu sendiri bahwa target utama Ancol adalah keluarga atau rombongan, dengan membawa konsep seru dan ramai.
Namun demikian, konsumen dari berbagai lini industri, terus berkembang dan mengalami pergeseran. Baik itu pilihan, preferensi, gaya hidup, maupun hobi — itu semua sudah berubah, dan kebanyakan mengarah pada Gen Z.
Makanya, dengan mengubah logo, perusahaan akan mempertegas lagi kepada audiens siapa target utama mereka, dan apa saja value yang sesuai dengan interest mereka. Supaya hubungan semakin akrab.
Semakin akrab hubungan antara brand dan audiens, semakin tinggi pula purchase intention dan brand loyalty.
Logo adalah jalan tercepat bagi brand untuk bisa diidentifikasi oleh audiens.
3. Kesepakatan internal

Parameter berikutnya adalah kesepakatan internal. Perusahaan harus memastikan apakah keputusan untuk mengubah logo diterima dengan baik oleh seluruh karyawan atau minimal yang akan berkaitan langsung dengannya.
Semakin banyak tanggapan dari karyawan, semakin kokoh juga citra logo di mata audiens nanti. Juga, tujuan perubahan akan lebih diterima oleh internal maupun eksternal perusahaan.
4. Komunikasi stakeholder

Perubahan logo bisa diartikan sebagai bentuk tawaran baru dari perusahaan kepada para stakeholders agar kembali tertarik dan antusias dengan bisnis mereka.
Itu artinya, logo baru harus bisa memberitahu bagian mana yang berubah dari perusahaan, dan bagaimana perubahan tersebut bisa unik dan mengungguli kompetitor.
Jangan sampai, perusahaan telat mengambil langkah, bahkan tidak tepat dalam melakukannya. Semua stakeholders, tanpa terkecuali, telah mendapat pemberitahuan tentang itu.
Dari kasus Ancol: Seperti kita tahu, beberapa wahana di Ancol sudah kecolongan audiens dari kompetitor mereka. Sehingga, mengalami penurunan jumlah pengunjung dari rentang tahun 2014 sampai 2018. Sempat terjadi juga pada masa pandemi.
Tingginya tingkat kompetisi ini pada gilirannya berpengaruh terhadap bagaimana audiens dalam memandang logo. Sebab, kekuatan logo dalam mencitrakan brand berasal dari seberapa kuat eksistensinya di pasar.
Itulah kenapa logo Ancol pada akhirnya diubah, bahwa mereka sedang gencar melakukan brand rejuvenation dan siap bangkit dari krisis finansial. Supaya perusahaan dilirik lagi oleh stakeholders, dan bisa memiliki posisi yang kuat di pasar.
5. Masalah hukum

Parameter ini sangat penting dan tidak boleh dilewatkan. Jangan sampai, desain baru melanggar hak cipta, bahkan menjadi inspirasi bagi perusahaan lain. Karena, buntutnya akan sangat panjang dan rumit.
Oleh sebab itu, perusahaan harus mengupayakan agar logo baru unik dan belum pernah ada desain yang serupa sebelumnya. Kemudian, logo diproses pendaftaran hak ciptanya sampai selesai.
6. Investasi

Percaya atau tidak, pembuatan logo baru membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Mungkin, pernah terdengar di telinga kita tentang Xiaomi yang rela menghabiskan milyaran rupiah untuk sekadar membuat logo baru. Ya, kurang lebih seperti itu.
Itulah kenapa, saat membuat logo baru, anggaran untuknya harus direncanakan dan disiapkan sebaik mungkin, meliputi pengeluaran untuk komunikasi kepada stakeholders, marketing campaign, branding, dan sebagainya.
Selain itu, rencana anggaran juga harus disesuaikan agar perubahan logo bisa memberi banyak keuntungan dalam jangka panjang. Tidak sekadar untuk pengeluaran saja.
Key takeaways

Dari tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan logo membawa angin segar pada masa depan bisnis dan branding dari Ancol. Perubahan logo juga menunjukkan bahwa Ancol siap mengambil langkah baru untuk bisa dekat dengan audiens mereka.
Setidaknya, ada beberapa poin yang bisa dipelajari dan diterapkan dalam bisnis yang kita miliki, di antaranya:
- Suatu logo baru dikatakan sukses bila desainnya tegas, futuristik, dan memiliki ciri khas yang kuat. Mudah dicerna dan langsung mengingatkan kita pada brand. Juga, warnanya bisa digunakan untuk berbagai produk visual.
- Pembuatan logo baru harus didorong oleh motivasi perubahan yang kuat, dan itu tergambarkan juga dalam desainnya, dimana audiens dapat langsung memahami begitu melihatnya.
- Belum tentu respons negatif audiens menunjukkan kalau desain logo baru itu buruk. Bisa saja, ada faktor-faktor lain yang memengaruhi, seperti kurangnya pemahaman tentang perusahaan (seperti pada kasus Ancol ini, dimana orang-orang mengeluhkan logo yang terlalu terkesan “PT”, padahal Ancol sendiri memang perusahaan).
- Logo baru harus merefleksikan siapa audiens dari brand. Dalam hal ini, misal, audiens adalah Gen Z. Maka, desain logo lebih baik disesuaikan dengan selera dan preferensi mereka.
- Akan sangat baik jika logo baru memuat nilai-nilai sosial dan hak asasi – mengingat target audiens adalah Gen Z yang peka dengan kedua hal tersebut. Dengan demikian, perusahaan bisa mendapatkan respons positif dan antusiasme yang tinggi dari audiens. Bahkan, ke depannya akan lebih mudah jika ingin membuat konten medsos atau marketing campaign yang sesuai dengan momentum terkait sosial dan hak asasi.
- Pengubahan logo bisa menjadi jurus untuk perusahaan mendapatkan hati stakeholders. Apalagi jika tujuan perubahannya menarik dan perusahaan percaya diri bisa mengalahkan kompetitor.
Sekian, terima kasih banyak sudah membaca artikel ini. Silakan berlangganan dengan Increasink.co.id untuk mendapatkan artikel bergizi lainnya. Dan semoga bermanfaat.